Selasa, 31 Mei 2011

LUKISAN TUA ITU MENYADARKANKU

Karya : Nanda Putra Saragi Sidabutar
T
erpaku dan termenung aku,dikursi sudut rumahku.Terpana aku melihat sebuah lukisan tepat disebelah utara dinding rumahku. Aku terfokus melihat 1 warna yang mendominasi lukisan yang baru kupandangi itu,yaitu warna hijau yang memikat hati . Segar dan tenang sekali aku melihat lukisan tua itu. Rasa ingin tahuku pun memuncak ,kudatangi lukisan itu tanpa hilang sedikitpun fokusku padanya.Ternyata kekagumanku itu berasal dari lukisan tua yang sudah lama senantiasa menghiasi sudut ruang tamu mungil,tanpa debu yang menari nari diatas bingkai jati lukisan itu .
Lukisan itu bak nyata dan permai . Lukisan ini sudah sangat lama dan seakan tak jenuh melekat didinding. Namun tak sadar aku bahwa aku salah tak merawatnya .Lukisan itu adalah sebuah pemandangan pedesaan yang dihiasi pepohonan yang kokoh berdiri,ditemani riak riuh deraian air sungai yang biru jernih mengalir dihadapannya,kerumunan bunga yang pwnuh warna bagaikan taman surga yang elok.Sepasang burung merpati putih bertengger dipohon yang rindang,seakan ramah dan gemulai mengajak burung berteduh di dahannya yang kokoh itu.Kulihat di lukisan itu matahari yang dengan hangatnya memberi warna dan kehidupan.Dedaunan yang didominasi warna hijau yang kupandang itu seakan akan melambai lembut padaku,hendak menyiratkan sebuah pesan kepada siapa saja yang melihatnya.Tapi aku tersadar dalam khayalku itu hanyalah lukisan pemandangan pedesaan tua yang tak akan pernah berbicara.
Sekejap semua itu lenyap,sirna entah kemana hilang dari pikiranku.Hatiku kini tak lagi sejuk dan tentram ,kini sejuk itu tergantikan oleh sesak yang bersangkar di dadaku.”Ada apa ini ”Sekilas terlintas dalam pikiranku ternyata lukisan itu sekarang hanya tinggal lukisan semata.Melayang seketika pikiranku membayangkan lukisan itu sekarang ini tak ada lagi kulihat pemandangan itu.Apalagi dikota metropolitan seperti kataku ini.Kota Medan.

Kujajaki koridor rumah ,menuju beranda depan. Kembali aku duduk manis melihat halaman,langit, dan lalu lalang kendaraan tepat dijalan di hadapan rumah.Aku merasakan rasa yang berbeda saat aku melihat lukisan di sudut rumah .Rasa ini sungguh jauh berbeda,sangatlah berbeda. Pikiranku belum lagi hilang dari bayangan lukisan tua yang tadi kupandang.Semuanya sungguh sangat berbeda jika saaat itu kupandang langit di angkasa yang kecoklatan.Semua itu karena asap yang mengepul dan menari nari di langit pertiwi. Kupandangi pohon-pohon di depan rumahku yang sepertinya lelah pada semua debu-debu asap yang betah menempel di setiap helaian daun nya.Pengap,sesak,berisik,hanya itu yang kurasakan saat ini.Aku sadar penyebab ini semua,semua ini keluar dari knalpot-knalpot mesin kendaraan pemakai energi fosil ini,kuda besi perusak lingkungan,itulah sebutanku untuk kendaraan yang padat merayap berlalu lalang dengan ketidakpedulian pada alam.Kupalingkan tatapan ku ke sebelah timur,makin sesak terasa dada ini dan mata ini serasa lelah,enggan melirik,ketika melihat corong corong raksasa,menghempaskan gumpalan asap yang berwarna hitam yang membumbung tinggi di langit diatas kotaku .Kutatap kanan dan kiriku penuh dengan gedung gedung pencakar langit membumbung tinggi bagaikan pohon yang tumbuh dengan suburnya.Sejenak aku bertanya dalam hati”Inikah tempat tinggalku sekarang ya Tuhan?”.Mengapa aku baru sadar betapa memprihatin tak ada yang mauannya lingkungan ku ini . Mungkin aku baru tersadar dari kesibuanku selama ini,juga ketidakpedulianku pada lingkungan dan alam sekitar.Kutatap sanak tetangga di kanan,dan kiri rumahku,sama halnya dengan aku,tak ada satupun yang peduli pada semua ini.Kuberanjak dari kursi depan di beranda rumah,kumasuki pintu rumah,kurebahkan badanku di sofa ruang televisi.Kutanya ayah,dan ibuku”Kenapa udara diluar begitu terik,panas dan sesak Pa,Ma? Kenapa tetangga kita tak ada yang enggan turut membersihkan semua ini?”Namun,jawaban yang kudapat sama dengan pemikiranku sebelumnya,mereka sama halnya dengan kami,sibuk dengan pekerjaan mereka,tidak ada waktu lain,kecuali mencari kertas kehidupan itu,yang tak lain adalah helai demi helai rupiah.
Aku,papa,mama,bertiga tiba-tiba hening di ruang TV,kami pandangi layar bening televisi.Beritalah yang sedang berkumandang dihadapan kami saat ini.Isi berita itu tak lain adalah masalah banjir di wilayah Indonesia.Kukutip1 kalimat dari nyaringnya suara pembawa berita,”Mengapa ada banjir dan longsor didaerah asri seperti itu pemirsa?”.”Boasa adong Banjir dohot Tanah Longsor,alai na permai do tano dohot lingkungan na?”tanya mamaku pada Papa,dengan style berbahasa bataknya itu.Itu mungkin teguran dari Tuhan,dulu memang wilayah asri itu sejuk,asri,namun pada saat ini semua itu berubah,semua sudah diulap sekejap oleh penjahat berdasi yang hanya mementingkan kantong-kantong tebal mereka,tanpa tahu apa efek yang akan terjadi akibat kelakuan biadab mereka.Daerah itu dulunya hutan rindang,yang sekarang sudah berubah drastis,pohon-pohon itu diganti gedung-gedung pencakar langit,yng merusak drainase,dan struktur tanah.Yah itulah yang disebut surga dunia sesaat.
Aku membayangkan lukisan tua tadi,aku masih penasaran dengan gambar dedaunan tadi,seakan memang sengaja dilukis untuk menyiratkan sebuah pesan rahasia.Hari demi hari,bulan demi bulan,semakin tak bergairah untuk keluar dari pintu,dan untuk sekedar duduk saja aku di halaman tak ada niat sedikitpun,sangkin malasnya aku melihat banyaknya polusi menari-nari di udara.Akhirnya aku sendiri membuat gebrakan,setiap minggu pagi kami sekeluarga membersihkan lingkungan sekitar sebelum pergi ibadah ke rumah Bapa yang teduh.Kami tanamkan satu per satu batang pohon jatipendek yang baru berusia 6 minggu ini,tubuhnya begitu mungil,daunnya begitu lembut,bak seorang bayi baru lahir didunia yang fana ini,pohon-pohon balita ini sengaja dibeli ayahku untuk ditanam dimuka rumah dan disepanjang jalan trotoar jalanan,196 batang banyaknya.Selama setahun kami sudah kerja bakti seperti ini dan pohon-pohon balita itu pun sudah beranjak besar.Kami rawat dengan yang namanya kasih sayang.Ternyata suatu hari,keajaiban datang di haari Minggu pagi yang begitu sejuk.Tetesan air embun pagi,menyegarkan aku yang merebahkan tangan dihalaman rumah.Namun ketika kubuka mata ini,aku terkejut,aku merasa takut karena tetangga sudah lama menunggu didepan rumahku.Mereka begitu ramai puluhan banyaknya.Yang aku herankan,mereka membawa cangkul,parang,dan pengais rumput.”Ya Tuhan”seruku dalam hati.”Ada apa ini?Apakah kami pernah berbuat salah sehingga mereka marah kepada keluarga kami?”Down drastis aku keringat dingin,kubanguni ayah dan Ibuku,tanpa menghiraukan lagi panggilan mereka.Ayah dan ibuku langsung panik,melompat dari ranjang empuknya,kuceritakan apa yangkulihat itu dengan nafas yang terengah-engah.Lalu ayah keluar untuk menanyakan apa yang terjadi.Aku hanya dapat bersembunyi di balik gorden rumah sangkin takutnya.Tetapi aku menjadi sangat bingung,setelah ada 15 menit,mereka berbincang ria.Mereka semua bergelak tawa termasuk,Ayah,Ibu,dan kakak,abangku.Baru aku tau maksud dari kedatangan mereka dengan membawa cangkul,parang,dan lainnya tadi.Aku pikir mereka akan membunuh dan menggorok leherku.Ternyata mereka bermaksud meminta maaaf dengan keluarga kami,mereka sadar dengan apa yang kami perbuat.Sudah lebih dari setengah tahun mereka memperhatikan kami,mengurus lingkungan tanpa mengharap pujian,dan imbalan.Tampak diraut wajah mereka mimik malu yang begitu dalam.Oleh karena itu tepat jam 05.15 WIB.Mereka ingin bergotong royong dengan kami.
Ternyata itu maksud mereka membawa cangkul,parang,dan pengais rumput,untuk merawat pohon-pohon balita yang kami rawat selama setahun itu.Aku menunduk malu pada ayah dan ibuku,yang telah membuat ,mereka panik,dan lompat dari ranjangnya.Hingga pukul 08.16 WIB kami terus bergotong royong dan diakhiri dengan minum,dan makan lapet(makanan khas batak)yang kami makan dengan bersenda tawa.
Mereka pulang ke rumah masing-masing,dan kami sekeluarga bersiap berangkat ke Gereja.Namun,satu hal yang takkan pernah kulupakan,ketika aku akan berangkat bersama,kulewati sudut rumahku.Tapi terasa ada yang tertinggal,kumundurkan langkahku tanpa menoleh,ternyata lukisan tua itu yang kulihat,bersinar.Entah aku yang sedang berkhayal,atau memang lukisan itu yang memiliki kekuatan gaib.Begitu jelas dan terang warna demi warna.Kutatap kedua helaian daun menyatu seperti mengucap terimakasih.Aku tersenyum simpul dan sumringah,akibat aku melihat lukisan Tua yang umurnya 18 tahun ini telah mengubah semua.
Lukisan tua itu bukan hanya menyadarkanku,bahkan keluarga dan lingkunganku.Kembali hijau walaupun masih ada asap yang menari tapi tak pengap kurasa.Semua itu karena 196 pohon balita itu sudah menjadi serdadu hijau pahlawanku yang menghalangi polusi itu agar tak kuhirup.Ternyata pesan itu,adalah “Tolong selamatkan alamku”mungkin itu pesan yang akan disampaikan kepadaku.Sungguh itu suatu keajaiban,sebuah lukisan tua menyadarkan aku.

Karya : Nanda Putra Saragi Sidabutar
SMA NEGERI 3 MEDAN
Komunitas Menulis dan Penelitian Ilmiah SMANTIG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar